Tuesday, December 20, 2011

Memori Sederhana

Hari ke lima belas.

Pesan pagimu hari ini berkurang satu kata lagi.
Doamu untuk kita berangsur hambar sejak entah kapan.
Alibimu bertubi-tubi.
Matamu lebih cepat berputar ketimbang menajam saat kita berbincang.
Secangkir teh yang tidak terlalu manis kesukaanmu mulai sering menyisa.
Jemarimu mengurus pada genggaman kita.
Ceritamu menguap entah kemana.
Jangkauan langkahmu semakin lebar.
Kau lupa lirik lagumu sendiri.
Puisi konyolmu mendadak serius.

Jejakmu hilang semerta-merta.
Atau kau sengaja meletakkanku dalam memori yang sederhana sehingga tak kan begitu sulit menguraiku?

Thursday, October 6, 2011

Menulismu

Pembalasan dendam melalui huruf yang tersusun rapi diatas halaman-halaman kosong.

Saya ingin menulismu dengan benar. Dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Dengan susunan yang rapi dan kerangka yang indah. Saya belum memikirkan apa yang akan saya tulis tentangmu. Tidak tahu bagaimana menggambarkan latar yang pantas untuk mengawalimu. Apakah sore hari dengan angin sepoi, malam hari lengkap dengan kunang-kunangnya, pagi di terminal bus, atau siang yang terik hingga bau keringatmu menguap kemana-mana.

Akhir ceritamu juga belum terpikir. Saya mau akhir yang menyenangkan. Tapi itu klise. Kalau saya mengakhirimu dengan kepedihan, maka saya tidak akan pernah sanggup menuliskan paragraf terakhir itu. Akhir yang mengejutkan saya rasa tidak buruk, seperti menjelaskan bahwa ternyata kamu adalah gay atau kamu adalah reinkarnasi Raja Kamehameha.


Yang pasti cerita itu hanya akan ada dua tokoh: kamu dan seseorang (bukan saya). Seperti balas dendam, diatas halaman-halaman kosong saya bisa menuliskan dengan pena hitam apa-apa yang saya inginkan terjadi. Rekayasa kejadian antara kamu dan dia yang ingin saya ceritakan berbeda dengan kenyataan. Saya tidak akan terlalu jahat menulis tentangnya. Bahkan mungkin cerita kalian adalah yang paling romantis yang pernah saya karang. Saya hanya ingin menulismu dengan benar menurut cerita versi saya. Entah nanti jadinya bergenre horor misteri, komedi, drama romantis, atau thriler.

Tuesday, September 27, 2011

Senyum

Sudah hampir petang saat sebuah rumah makan sederhana di pojok gang Jalan Seruni membuka gerainya. Tak ada meja yang belum memiliki tuan. Semua terisi penuh. Ramai. Orang-orang yang seharusnya terlihat kelaparan ini malah berlomba meninggikan suaranya sampai urat lehernya menonjol. Sepanjang mata memandang, rata-rata pengunjung rumah makan ini adalah remaja. Dengan kisaran harga menu yang menjamin kantong tak kering, perut dan lidah akan dimanja-manja sepuasnya.

Diantara meja makan-meja makan, mereka bercengkrama merekonstruksi kejadian dan bersenyuman. Aku kenal senyum-senyum itu. Senyum manja, senyum malu, senyum sarkastik, senyum sinis, senyum sayang, senyum gembira, sampai senyum pura-pura. Wanita dengan kaos merah muda itu contohnya, yang sepanjang perbincangan hanya mengangguk, menggeleng-gelengkan kepala, dan senyum bosan sedangkan lawan bicaranya tak henti bercerita seperti lupa dia harus bernapas.

Senyum seharusnya mengesankan keikhlasan, bukan begitu? Tapi mengapa aku melihat banyak versi. Katanya senyum itu ibadah. Mungkin tidak semua jenis senyum dihitung sebagai ibadah. Siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Mungkin aku peduli walaupun aku tak tahu. Menurutku, senyum itu ekspresi yang merepresentasi perasaan yang belum memiliki nama resmi. Seperti saat aku bertanya pada seorang teman kenapa dia memilih duduk sendiri dengan muka ditekuk dan berpangku tangan. Dia menjawab, “Aku punya masalah dengan nilai ujianku. Yang kutahu teman-teman yang lain mendapat nilai bagus. Aku minder. Aku malu.” Setidaknya itu yang aku terjemahkan lewat senyumnya. Senyum menjadi jalan pintasnya menjawab perhatianku alih-alih menamai perasaannya sendiri.

Di rumah makan sederhana ini, aku dan dua sahabatku bercakap-cakap sederhana. Kami memilih-milih cerita untuk dikisahkan. Sebagian benar terjadi, sisanya (aku anggap) masih menjadi sebuah harapan. Kami juga melempar senyum-senyum dengan sesekali tertawa pendek yang dibuat-buat. Senyum kami berbeda dari mereka yang duduk diantara meja makan-meja makan itu. Kami memiliki senyum rahasia. Salah satu jenis senyum favoritku. Senyum yang didahulukan, yang diciptakan sambil menerawang angan. Senyum masa depan. Senyum kebanggaan.

17 Agustus 2011

Tuesday, July 26, 2011

Anakku..

Anakku, berpuas-puaslah mengkhayal dan merapal imajinasimu.
Jangan hitamkan kulitmu dengan memunguti receh yang disebar pengendara roda empat.
Peluit itu bukan mainanmu, anakku, untuk menggiring kendaraan memutar balik atau sekedar meninggalkan parkiran.

Anakku, aku kumpulkan sejumlah buku untuk mengenyangkanmu kelak.
Jangan kau gelisah akan gelita malam kala aku meninabobokanmu dengan dendang melayu.
Suatu hari kau akan mencari judulnya dan bernostalgia.
Jangan mencari pemuas hari ini karena kau takut diolok esok.
Tugaskulah, anakku, hari ini mengucurkan keringat mengonversikannya menjadi baju dan sepatu barumu.

Anakku, aku tidak akan kehilangan bait terakhir dalam sajakku untukmu.
Mari berseloroh dibawah beton-beton ini dan memahat kenangan dengan rapi.
Aku tak butuh kau bangga dengan kerjaku memintal benang dan mengakurkan pola-pola kain.
Tapi, anakku, kau bisa bangga dengan mimpiku untuk memberimu senyum paling lebar.

Anakku, aku mencintaimu atas nama seluruh elemen alam yang menjadikanmu milikku.
Aku mencintaimu hampir setelah aku mencintaiNya dan para utusanNya.

*Selamat hari Anak Nasional. Allah bless all children around the world.

Sunday, July 17, 2011

Tanya Goyang-Goyang


Ketika hitam mencumbu para selirnya, bintang
Dan pekat mengentalkan relung
Senyap tak luput ikut lamunkan bayang
Kita berkejaran mengimbal tanya yang goyang-goyang

Sebelum kita larut dalam selimut, geli bermimpi, dan jumpalitan kanan kiri
Kirimkan aku baris bergaris
Akan ku bayar dengan berlusin butir getir kalimat satir

Kita ini apa?
Lelucon lama?
Atau sindiran berbalur doa?
Sahnya, kita bersuara
Tak cuma merajut kata dan sengaja diusangkan udara

Thursday, June 23, 2011

Boneka Mas Toro

Aku, pada akhirnya, ikhlas berbagi atap dengan istri muda suamiku.
Setidaknya itu yang aku rasakan tiga tahun terakhir semenjak Mas Toro memutuskan untuk berpoligami.

Aku tidak pernah setuju dengan keinginan suamiku itu. Selain karena aku terlalu mencintainya, kami memiliki anak perempuan usia empat tahun yang sedang sangat membutuhkan kasih sayang ayahnya.

Mas Toro bersikeras memiliki istri baru. Sedangkan aku sempat mengancamnya untuk menceraikanku saja jika ia tetap ingin memperistri wanita yang katanya lebih muda lima tahun dariku itu. Ia pun menikah siri tanpa sepengetahuanku.

Ia membawa istri mudanya dihari ia mengakui perbuatannya. Kami kemudian dikenalkan. Aku terkejut bukan main. Aku menjabat tangan dan mencium pipi istri baru suamiku yang berupa plastik.

Wednesday, June 22, 2011

Nur, Sang Cahaya

Kini gelap
Nur menatap senyap
Singup, jantung tak lagi berdegup
--
Nur dipaksa
Dibungkam jiwanya
Diborgol nyawanya
Dirampas hak bela
Digunduli mimpinya
Ditanggalkan asanya
Dicuri napasnya
--
Nur berjanji kembali
Pada anak dan suami
Pulang ke Bekasi
Bergelar pahlawan masa kini
--
Nur, Sang Cahaya
Sekedar mengejar cita
Menerangi jalan hidup anak-anaknya
Nur, rela
Menapak kaki di negeri seberang sana
Berselempang serbet tua
Bermodal pangkat "devisa negara"
Bertaruh nyawa.

Wednesday, June 8, 2011

Sepotong Roti

Pagi-pagi setelah menari dibawah pelangi,
eyang putri kembali menyulam memori.
Dilumat habis lukisannya sendiri.
Eyang putri hanya menguas wajah anak dan suami.
Lalu melayang pergi.
Menengadah sendiri.
Mencari-cari sepotong roti.
Mengais mimpi:
keluarga yang tak pernah dimiliki.
Disudut Bantar Gebang, Bekasi.

Sunday, June 5, 2011

Sita Pulang Dalam Remang Naik Kereta Api

Sita pulang dalam remang
Memanggul koran bekas
Yang dipotong kotak-kotak kecil

Jam 9 pagi waktu favoritnya
Menunggu kereta api melintas dengan pesatnya
Sita tertawa sampai terlihat semua giginya

Sita, 43 tahun
Pakai piyama bunga-bunga
Lidi ditangannya, pemotong kertas koran
Sita, kesayangan ayah
Duduk dipangku selalu
Sejak dulu, sejak diperangkap waktu

Sunday, May 29, 2011

Layangan

Kita loncat-loncatan di trampolin awan
Bergelayut dilayang-layang, itu yang sering kamu lakukan
Lalu kita jatuh ke kubangan coklat bau disuatu tikungan
Kita tetap menari dengan telanjang kaki
Menyusur sungai mencium ikan
Melamun di bawah pohon waru yang daunnya tanggal
Mencari senar bening panjang yang terjuntai
Saya si layang-layang yang kamu mainkan
Tanpa senar
Tanpa angin

Saturday, May 28, 2011

Saya mengagumimu dengan patuh dan sungguh..

Saya mau berlari-lari
di bawah hujan, sendiri.
Lalu cepat-cepat kembali.
Sebelum kamu bangun pagi.

Sebelum kamu berajak ke sisi kamar dan membuka jendela.
Sebelum kamu menyapa burung parkit tetangga.
Sebelum kamu menggilas biji kopi dan menyeduh secangkir penuh.
Sebelum senyummu bergemuruh.

Saya segera hilang.
Menguap dengan molekul embun dedaunan.
Sebelum pesan pagimu menguar di telinganya.

Pulang Saat Petang

Pulanglah saat petang.
Dimana angin menggulung ilalang bak gelombang.
Sebelum langit kemerahan datang.

Kelingkingku ingin digamit seraya fajar melambai hangat.
Kita memarun kenangan penuh khidmat.
Bicara dari mata kasat.

Pulanglah saat petang.
Sebelum hujan membuyarkan angan.
Sebelum hilang kenang-kenangan.
Aku tunggu di bentangan petang.