Tuesday, February 21, 2012

Rapatkan jari-jarimu pada genggaman kita.
Dan kunci.
Hanya itu cara memenjarakan kepercayaan kita kedalam sel-sel yang bekerja di tubuh kita.

Jika sudah tak percaya pada genggaman tangan
dan sela jari tak lagi menyapa,
rapatkan pelukanmu erat.
Disana kita akan saling mendengar hati berbicara.

Aku cukup percaya dengan genggamanmu
 yang akan memimpinku menyusuri simpangan-simpangan berbalut kabut
 menuju ujung jalan.

Jika kau lelah, berhentilah.
Tak usah terburu.
Kita duduk bersila dibawah pohon waru,
akan kupinjamkan bahuku untuk sandaranmu.
Jangan kau bisu karena matamu terlalu rumit aku maknai.

Kau punya bisa yang membuatku rela teracuni berkali-kali
dan selalu sukses melumpuhkan satu per satu sarafku.

Dan kau punya tangan halus untuk aku genggam.
Aku rela berlama-lama menghabiskan waktu didalam sana
memainkan tiap lentik jarimu satu per satu.
Dulu petang mengintip-intip malu.
Membisikkan seadanya kata yang bisa disampaikannya pada langit biru.
Hari ini, petang menjadi jalang.
Meramu abu-abu biru menjadi jingga terang.
Lantang, diserukannya ajimat-ajimat sayang.
Namun langit mengernyit pahit.

Dulu aku percaya ada yang mengerti kalimat cantik tentang senja, hujan, dan pagi selain aku.
Ternyata benar aku tidak sendiri berkalimat cantik tentang mereka bertiga.
Saat warna jingga dan lengkung kemerahan pada senja,
disebelah kiriku ada perempuan yang sedang bergumam indah.
Semoga kernyitan langit itu pertanda cemburu saat aku bersamamu tanpa malu.